Senin, 19 Januari 2009

BAD TV CONTENT : WHO’S TO BLAME?

BAD TV CONTENT : WHO'S TO BLAME?
TV programs have been accused of being of low quality, with many people
blaming TV stations for relying merely on the single rating institution in the country -
AGB Nielsen Media Research. Some blame the AGB - Nielsen system itself for not being
transparent, and others accuse the Indonesian Broadcasting Commission (KPI) of being
powerless. Who is really ti blame? Many media literacy activist have complained that TV
stations should decide whether or not they should run a program based merely on the TV
audience measurement (TAM) issued by the AGB Nielsen Media Research.
The rating itself is a measurement of the numbers of people watching a program
over a certain period of time. Many companies prefer to have their commercials aired
during a program that has a high rating, assuming, therefore, that their product will reach a
larger audience. Both TV stations and AGB Nielsen Media Research are to blame for the
bad quality of programs, said Agus Sudibyo, deputy director of the Aesthetic Art and
Technology Foundation (SET). "TV stations are guilty of broadcasting programs merely
based on AGB Nielsen's rating. But AGB Nielsen is also guilty as it is transparent in
regards to their survey methods", Sudibyo told the Post.
"They always argue that their business secrets will be revealed but as an institution
providing a public service, they should be scruitinized by the public". Since March 2008,
the SET Foundation in collaboration with Tifa Foundation and The Indonesian Television
Journalist Union (IJTI) has periodically held public surveys on the quality of programs of
11 TV stations in the country. Sudibyo said the KPI and the information and
Communication Ministry were in legitimate positions to control the industry but both were
powerless without public pressure. "Not of KPI's appleals are obeyed by the TV stations.
The industry is very strong. So while waiting for the system to work properly, we need to
support the regulatory body through a public movement.
"It takes time but we believe we have touched on something sensitive to media -
which is their image - so they will listen to us. Advertisers will think twice if told that the
highly rated programs, which they are lining up to advertise on, are actually of bad quality,
"Sudibyo said"
Media literacy activist Santi Indra Astuti, however, blamed TV stations for
"Misusing" the AGB Nielsen rating system. Citing examples from the UK, Iceland and
Finland, Santi said the industry should use several different rating systems rather than
relying on a single rating institution. "We can not blame any rating institution. The media
is to blame because they rely only on single system, "Sais Santi", who is also a lecturer at
the Bandung School of Communication Studies.
As it is performing a public service, AGB Nielsen should be transparent, she said.
Public relations executive of the AGB Nielsen Media Research, Andini Wijendaru, denied
the claim that the company had not been transparent in their methodology. "We are always
transparent and we even put it on our website" Andini told the Post. The survey has
nothing to do with the quality of a program because it is designed to measure viewer
numbers, she said.
"We would be more than happy if another party came up with a different kind of
survey because it will enrich our way of looking at programs". Andini said. Director of
Children Media Development Foundation (YPMA) Boby Guntarto pointed the finger at
country's regulatory body, the KPI. "The KPI has done their job but it seems to have little
to do with surveillance. By our calculations, only about 10 percent of broadcasting material
comes under their surveillance", Boby said. The Broadcasting Law stipulated the need to
protect vulnerable groups, such as children, teenagers, the very elderly and the disabled
from media violence, but that lower regulations were not in line with the law, he said.
"The KPI's regulation on broadcasting program standards does not mention
anything about broadcasting hours for children's programs", he said. "It like a vicious
circle, but if someone has to be blamed, it should be the KPI, because according to
regulations they carry out the public mandate", said Effendi Ghazali, a lecturer at
University of Indonesia. The KPI should be more independent regulatory body. Effendi
added. In addition, prime time content should be more controlled. "From 8 p.m to 10 p.m,
the TV stations will only be allowed to broadcast programs 'supported' by public research.
It should be initiated by public pressure and it should be supported by the KPI and the
Information and Communication Ministry", Effendi said.





SIARAN TV JELEK : SIAPA YANG SALAH?
Siaran TV telah menjadi sorotan terhadap rendahnya mutu siaran, banyak orang
menyalahkan station TV dalam pemilihan acara pada satu institusi saja dalam satu negara -
Media Research AGB Nielsen. Beberapa kesalahan dari sistem AGB Nielsen adalah tidak
adanya transparansi, sorotan lain juga terjadi pada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yag
tidak pro aktif dalam masalah ini. Siapa yang seharusnya bersalah? Banyak sekali aktivis
dari media literasi yang complain bahwa station TV akan memberi keputusan apakah
station tersebut akan menayangkan satu program saja atau tidak. Sumber dari Media
Research AGB Nielsen.
Penilaian tersebut merupakan standarisasi dari jumlah pemirsa yang menyaksikan
program TV dalam beberapa periode akhir ini. Banyak sekali perusahaan yang
memperoleh keuntungan selama program tersebut ditayangkan. Oleh karena itu, produksi
mereka akan mengalami jangkauan pemirsa yang banyak sekali. Station TV dan Media
Research AGB Nielsen mereka menyalahkan rendahnya mutu dari beberapa siaran TV,
ungkap Agus Sudibyo, wakil director dari Yayasan Seni Estetika dan Teknologi (SET).
"Station TV bertanggung jawab terhadap penyiaran satu program saja dalam penilaian
AGB Neilsen. Tetapi AGB Nielsen juga bertanggung jawab terhadap transaparansi
tersebut mengenai metode surveynya". Ungkap Sudibyo dalam surat kabar.
"Mereka selalu berdalih pada bisnis rahasianya yang akan dibeberkan, tetapi
sebuah lembaga yang selalu melayani masyarakat, mereka harus terbuka bagi publik".
Sejak bulan Maret Tahun 2008, Yayasan SET bekerjasama dengan Yayasan Tifa dan
Ikatan Jurnalistik Televisi Indonesi (IJTI) telah melaksanakan survey masyarakat secara
periodik tentang qualitas program TV pada 11 station TV diseluruh dunia. Sudibyo
mengatakan bahwa KPI dan Departemen Komunikasi dan Informasi telah mengesahkan
para pejabat untuk mengawasi industri tersebut, tetapi hal itu tidak berhasil tanpa adanya
dukungan dari masyarakat. Bukan KPI yang harus tunduk kepada station TV. Industri
tersebut sangat kuat. Jadi tinggal menunggu sistem kerjanya saja, kita butuh sokongan dari
publik".
"Itu semua butuh waktu, tapi kita yakin bahwa kita akan memperoleh media yang
sensitif - dengan peran ini - mereka akan respon ke kita. Para pemasang iklan pun akan
berfikir dua kali bila mereka mengatakan demikian, walaupun dengan iklan yang
sempurna, emang kenyataannya, qualitasnya jelek. "Ungkap Sudibyo".
Aktivis dari media literasi Santi Indra Astuti, bagaimana pun juga, station TV
bertanggung jawab terhadap "penyalahgunaan" sistem AGB Nielsen. Seperti United
Kongdom, Islandia, Finlandia, Santi mengatakan industri tersebut akan mengunakan
beberapa sistem yang berbeda ketimbang dengan penggunaan pada satu institusi saja. "Kita
tidak bisa menyalahkan penilaian lembaga tersebut. Medialah yang harus disalahkan
karena mereka yang menetapkan sistem tersebut, "Ungkap Santi" yang juga salah seorang
dosen pada Pendidikan Komunikasi Bandung.
Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, AGB Nielsen akan terbuka, dia
mengatakan, eksekutif hubungan masyarakat dari Media Research AGB Nielsen, Andini
Wijendaru, ia menolak tuduhan terhadap perusahaan yang tidak terbuka dengan
metodenya. "Kami selalu terbuka dan kami juga sering memberitahukannya di website
kami". Andini mengatakan melalui surat kabar. Survey tidak melakukan apa-apa terhadap
qualitas program ini karena sudah dirancang untuk mengujur jumlah pemirsa, ungkapnya.
"Kami akan lebih berbahagia bila semua pihak melakukan dengan surver yang
berbeda karena akan memperluas jalan kami dalam tontonan program ini". Andini
menambahkan. Direktur dari Yayasan Peningkatan Media Anak (YPMA) Boby Guntarto
mengisyaratkan telunjuknya tentang negara-negara yang ada hubungannya dengan KPI.
"KPI telah melakukan tugasnya tetapi masih perlu pada pengawasan-pengawasan lainnya.
Dalam hitungan kami, kurang lebih 10 % dari alat penyiaran itu muncul dari pengawasan
mereka", ungkap Boby. Aturan penyiaran telah menetapkan tentang kebutuhan untuk
mengatasi kritikan-kritikan dari kelompok lain, seperti anak-anak, para remaja, orang tua
dan catatan dari kekerasan terhadap media, tetapi hal demikian akan melemahkan
peraturan bila tidak sejalan dengan aturan hukum yang ada. Dia menambahkan.
"Peraturan KPI terhadap standar penyiaran tidak menyatakan tentang jumlah jam
tayang program untuk anak-anak", dia menambahkan, "Kayaknya seperti siklus jahat, tapi
harus ada seseorang yang harus bertanggung jawab, bisa jadi KPI, karena sesuai dengan
aturan mereka mengemban amanat masyarakat", ungkap Effendi Ghazali, salah seorang
dosen UI. KPI harus lebih terbuka terhadap aturan. Effendi menambahkan. Dalam
tambahannya, jadwal tayangan TV harus lebih diawasi. "Dari jam 8.00 WIB - 10.00 WIB
station TV hanya diperbolehkan untuk penyiaran program "dukungan" dengan penelitian
public. Mungkin juga diprakarsai oleh dukungan publik, mungkin pula sokongan dari KPI
dan dari Departemen Komunikasi dan Informasi. Effendi mengungkapkan.






Written by. Zulkarnaini



Tidak ada komentar: